Para pengembang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan penyedia panel surya ketiban rezeki nomplok. Terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PLN, membuat gerak bisnis pengembang makin leluasa bahkan penyedia panel surya kapasitas besar pun ikut berkembang. Bukan saja melayani PLTS skala besar, tetapi juga masuk ke ritel yakni rumah tangga.
Bahkan ada indikasi peralihan pemakaian listrik dari memakai jaringan PLN menjadi memakai PLTS secara mandiri. Dengan keluarnya regulasi tersebut, banyak pabrik yang meminta pemasangan PLTS hingga 100% on grid. Maksudnya, mereka ingin memasang PLTS sampai sesuai daya yang selama ini mereka beli dari PLN.
Misalnya, untuk pabrik dengan pemakaian 12 MW, perusahaan tersebut bisa memasang PLTS rooftop atau atap senilai Rp 12 miliar per 1 MW, atau Rp 144 miliar untuk 12 MW. Pemakaian PLTS rooftop bisa mencapai 15 tahun. Bandingkan dengan memakai listrik PLN yang tarifnya bisa naik 10% per tahun, pengeluaran akan jauh lebih besar. Tetapi pemakaian PLN tetap jangan diputus, karena memang pemakaian PLTS tergantung cuaca.
Namun, yang masih menjadi kendala, produk dalam negeri masih lebih mahal dibandingkan produk impor solar cell impor. Kalau produk dalam negeri US$ 0,7 per 1 watt peak (wp). Sedangkan produk impor hanya US$ 0,4 per 1 Wp. Alhasil, para pengembang atau engineering, procurement, and construction (EP) proyek PLTS masih memilih produk impor. Ini berimplikasi terhadap harga jual panel surya ke pelanggan.
Dalam Permen ESDM No 49 tahun 2018, tujuan dari penggunaan sistem PLTS atap adalah untuk menghemat tagihan listrik. Namun demikian, masyarakat yang memakai PLTS tidak boleh melebihi daya listrik yang saat ini dimiliki. Di pasal 5 tersebut disebutkan, kapasitas sistem PLTS atap dibatasi paling tinggi 100% dari daya tersambung konsumen PLN.
Hanya saja, tarif listrik ekspor ke PLN dari PLTS rooftop dibatasi. Dalam pasal 6 Permen ESDM No. 49/2018 disebutkan bahwa pelanggan PLTS atap yang diekspor ke jaringan PLN dihitung berdasarkan kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikalikan 65%. Perhitungan energi listrik pelanggan PLTS atap dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih nilai kWh impor dan nilai kWh ekspor.